PULANG


ranah rantauku yang jauh dari kampung halaman. Teringat sudah padahal hari ini urusan kantor sangat menyibukkan jasadku, jiwa ini merindukkan seseorang. Maafkan aku,ibu. Semua  schedule kubatalkan hari ini. Entah, rasaku tak enak. Surat ibu pun tidak pernah terlihat lagi sebulan. Apa ? ibu mati? Ah, dasar anak tak tahu diri. Pukul kepala, betapa bodohnya aku. Gerakan kaki cepat melangkah seakan tahu apa yang terjadi. Ibu, aku pulang.
Di sini , ibu melahirkanku. Teringat jelas bayangan masa kecilku dan saat detik aku pergi. Keringat peluh mengucur deras sama dengan mataku. Sudah berumur 30 tahun rumah ini. Masih sama seperti yang dulu. Ayah? Ayah pulang menghadap Allah swt, saat aku masih berumur tujuh tahun. Rantau ke hutan, bukannya ayah memakan mangsa, mangsanya memakan ayah. Sedih.
“ibuuuuuuuuuuuu….”, seorang wanita paruh baya serius menjahit bajunya yang lusuh seraya membenarkan kacamatanya melihat kepulanganku.
“sarim, anakku……”, katanya menyahutku dengan pelukan tangannya yang lemah. “Kenapa kau pulang, nak?” , tersunging bibir keriputnya.
“ aku pulang karena rinduuuu ibuuu..”
“ ibu, sudah masak makanan kesukaanmu lhooo…”
“ sungguh? Horeeeeee “ sambil berlari memeluk ibu sekali lagi.
Sekelilingku kini terasa hampa. Semua , dialog itu tidak ada gunanya. Ibu sudah tiada dua puluh tahun yang lalu . Terduduk aku ditengah ruang tamu. Menekukkan lutut dan memeluk dengan kedua tanganku. Perih. Sepi. Menangis. Bukankah hidup djalankan sendiri. Entah, apa takdir-Nya kepadaku? Pucat pasi wajahku. Bibir bergetar keluhkan nasib. Ya Allah, aku tak ingin semua pulang sebelum kepulangan jiwa ini ?
 terkadang apa yang kita inginkan tidak sesuai namun takdir-Nya hidupkan hikmah dan sadarkan kita bahwa kita akan pulang sendiri menghadap-Nya. Terkadang bukan penantian kekasih jiwa yang harus kita nanti namun persiapkan diri dengan kematian yag selalu menanti dari segala arah jasadmu. Allah ingin jiwa sucimu untuk pulang.
****


Namaku, Sarim. Sebenarnya aku terlahir dari seeorang cucu yang kaya raya. Ada seluas sawah emas menggunung. Kami tak boleh ambil. Kami ambil, pulang hanya sandarkan nama. Bingung. Entah, mengapa saat aku dilahirkan? Perusahaan ayah bangkrut , ibu tidak mendapatkan uang untuk belanja keperluan rumah tangga dan kakakku yang telah menikah, meninggalkan kami di desa terpencil. Semenjak itu, ayah ibu tak pernah mendengar kabar kepulangannya.
“ sarim, sini nak.. “
“ iya Ayah,,”  duduk sila menghadap seseorang yang memanggilku.
“ apa engkau sayang ayah dan ibu mu? Jagalah ibu yang ayah sayang nak. Kalau kamu sukses, pulanglah dengan rendah hati. Janganlah engkau sombong. Dia yang melahirkanmu. Kalau kau tak punya apa-apa. Jual-lah tanah ladang atau kau urus tanamannya hingga berbuah. Mengerti tidak, nak ?” usap tangan kekarnya dan bibirnya mencium keningku.
“ iya dong ayah.. aku mengerti .. satu-satu aku sayang ibu, dua-dua juga sayang ayah, tiga-tiga sayang adik kaka. Satu dua tiga sayang semuanya… “ ujarku sambil bernyanyi dan ayah memelukku seraya berbisik, “ setelah pergi ke hutan,  aku cepat pulang “
Hari ini, ayah pergi akan memangsa babi di hutan. Saat itu, aku masih berumur lima tahun. Engganlah aku ikut dengannya. Namun aku tak pernah mengira bahwa hari itu adalah hari terakhirnya. Ya, benar.. ayah sangat cepat pulang menghadap-Nya. Dia dimakan oleh mangsanya. Di cabik keras hingga urat nadinya terputus dan alirkan darah segar di sekujur tubuhnya. Warga ramai-ramai gotongkan mayat jasad yang telah tiada ke rumah keluarganya.
Iya, rumahku. Rumah kita bersama. Kata-katanya melintas seperti wasiat di sore hari. Menangis sedu saat ayah dikuburkan. Ibu, tak kuasa menahan rasa sedihnya. Sesekali ia pingsan dan mengigaukan nama ayah untuk kembali bersamanya. Dan lagi-lagi kakakku tidak pulang. Hanya ibu dan aku disini. Memeluk seribu bayang dan menanti panggilan kematian. Pamanku salim, meminta izin membawa ku, saat aku berumur tujuh belas tahun.
****
Si kecil kesayangan ayah kini sendirian mengarungi nasib di tengah kota. Singa besar  itu julukan teman perusahaan di kantor. Aku disini diajarkan bagaimana cara berkelahi yang tangguh namun keren? Memegang pistol dan pedang itu beda tekniknya. Cara menebas lukanya pun harus diarahkan pada permainan perasaan. Aku selalu menjadi tangan kepercayaan Tauke Muda mengalahkan seribu musuh di negeri ini. Ya, begitu pun keluarganya. Pernah aku lihat, seluas sawah menggunung emas seperti yang dikatakan ayah warisan kakekmu dulu namun tak boleh kami ambil.
Kaget, melihat segalanya. Hamparan ini tidak pernah kulihat saat di kampung halaman. Seseorang menepuk bahuku, itu Tauke Muda namanya adhfal. Tak, tak boleh kusebut itu. Cukup, tauke muda.
“ kau akan mendapatkannya , singa besar. Tetaplah bersamaku. Jangan pulang.. “
“ tentu.. “ aku tersenyum hormat dihadapannya.
Hari ku disibukkan dengan pertemuan dan pertemuan. Anehnya, mereka terkalahkan dengan gaya bicara retorika ini. Membuat semua klien menginginkan saham yang aku jual dan kelola. Memajukkan keluarga ini dengan hanya bicara. Keluarga? Ya, sudah ku anggap keluarga. Tiba-tiba saja aku mengingat kata-kata terakhir ayah untuk menjaga ibu di kampung. Perasaanku tidak enak. Lemas. Keringat dingin mengucur.
Tauke Muda memperhatikan sikap anehku di jendela. Aku tak kuat menyapanya. Dia cepat meraih tubuhku yang akan jatuh di lantai.“ cepat telepon rumah sakiiiiit, pelayaaaan ..”,Cepat-cepat tanganku melambaikan tangan makna  tidak usah. Tauke Muda pun bertanya saat aku usai minum teh manis hangat dan buah-buahan yang diberikan oleh pelayan.
“ kenapa kau seperti ini, singa besar?” nadanya keras terlihat mengkhawatirkanku hati lembutnya.“ aku ingin pulang, aku rindu ibu..”Tauke Muda mengizinkan walau hatinya berat untuk ungkapkan hanya anggukan kecil dan perintahkan semua pelayan untuk kepulanganku.
Sesampainya di rumah, Aku melihat secarik kertas mengatakan “pulanglah nak, ibu rindu ayahhh.. ibu pun akan pulang menyusul ayahmu. Jaga makanan dan minumanmu. Walau disini banyak babi. Jangan kau makan. Walau di kota banyak minuman keras. Jangan kau minum. Peliharalah agamamu dengan perbuatanmu. Sedih. Seharusnya aku menjaga ibu disini, maafkan aku. Pasti, sangat lama ibu rindu ayah. Aku pulang.  
****
Profil penulis : Azzah Qur`ani adalah nama pena dari Ahda Jaudah. Mojang kelahiran Bandung ini tercatat sebagai mahasiswi di Universitas Negeri Islam Sunan Gunung Djati Bandung Fakultas Dakwah dan Komunikasi jurusan Komunikasi Penyiaran Islam angkatan 2014. Perempuan bungsu ini sangat aktif ikut organisasi di dalam dan luar kampus salah satunya komunitas penulis kreatif se-Bandung Raya sebagai Humas dan Gerakan Muda Sadar Budaya Indonesia sebagai anggota. Hobinya menulis dan membaca buku serta travel dan mengikuti seminar pendidikan dan kebudayaan. Karyanya sudah ada dalam bentuk karyatulis, antologi cerpen, puisi, fts dan kata mutiara. Untuk teman penulis yang ingin berkenalan dan memberikan saran serta kritik ke email : ahda.jaudah@gmail.com atau facebook : Ahda Jaudah  , twitter : @dhaa2,  ig : @ahdajaudah.
 nama : Ahda Jaudah
Email : ahda.jaudah@gmail.com



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Buku : Mereka Besar Karena Membaca

review buku : Khadijah, Perempuan Teladan Sepanjang Masa

Senja Yang Hilang